Apa Business Plan-mu Sebagai Musisi?

by


Amin Sabiatko, seorang introvert sekaligus manajer Batiga, memberikan opininya soal menjadikan band sebagai perusahaan.

Hai, apakabar semua. Nama saya Amin, tapi bukan Amin yang itu.

Sebenernya saya merasa kurang pantas ketika ditodong menulis artikel oleh redaksi HOOKSpace. Tapi ya sudah, saya tetap coba membagikan sesuatu. Insya Allah, semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua yang membacanya. Oh ya, tulisan ini tentu berada persis di ranah subjektivitas, tolong koreksi dan kontak saya ketika ada yang mengganjal. Tentang tulisan ini ya, bukan tentang masa depan. Kalau itu sih saya juga masih bingung.

Saya sangat senang dengan diskusi. Mungkin tulisan ini terasa satu arah. Namun, di bawah ada kolom komentar. Silakan dibuat ramai saja kalau ada opini tambahan. Bisa juga hubungi saya jikalau memang ingin mengobrol lebih intens. Saya sangat senang menanggapi pesan singkat netizen terutama kalau yang nawarin job untuk Batiga.

Apa yang mau saya tulis ini awalnya adalah kegelisahan yang selalu saya tanyakan pada diri saya sendiri. Sampai saat ini pun, kegelisahan ini masih saya alami. Apakah seorang musisi atau manajer band bisa dibilang sebuah pekerjaan? Apa yang dikerjakan? Apa imbalan dari pekerjaan tersebut? Ini selalu saya pertanyakan di batin yang seringkali muncul ketika sedang termenung. Maklum, saya kan introvert.

Siapakah yang berhak menganggap dirinya sebagai musisi? Ketika ada semboyan “jika ingin hidup dari musik, hidupilah dulu musikmu”, seperti apakah itu maksudnya? Untuk saat ini, saya masih setuju (masih lho ya) dengan pernyataan Mas Farid Stevy: “Idealisme is cheap, sing larang kuwi beras”.

Tanpa jam kerja bukan berarti tanpa rutinitas. Jangan pernah lupa apa yang kita (kok kita? Aku siapa ya? ya biar lebih akrab aja) lakukan sehari hari ini adalah aktivitas template. Rekaman, latihan, manggung, dagang merchandise, jasa penukaran bayi: semuanya adalah hal yang kita (eh, kita lagi) lakukan berulang-ulang.

Kalau ada band yang terkesan lebih moncer, saya yakin template yang mereka tiru dan laksanakan tentu lebih rapi. Rapi dalam arti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya lebih tertata dibanding band yang lain. Loh kok kesannya band-bandnan mirip kerja kantoran di perusahaan? Lha iya memang band ki pancen unit usaha, ndul. Mungkin kebanyakan dari kita hanya ingin main musiknya saja, lalu bab penjualan diabaikan. Menurut saya itu tidak salah sih, tapi sayang banget aja.

Oke, semua saya anggap sepakat dengan opini saya soal band sebagai unit usaha. Nah sekarang, gimana, sudah buat business plan belum buat band Anda?

Dari mana memulai pembuatannya ya? Saya sih percaya prinsip sederhana: lakukan saja!

Kembali ke perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi tadi: Anda harus duduk bersama dan brainstorming bersama band Anda masing-masing. Curahkan gagasan tentang band yang mau dibawa kemana. Menurut saya ini penting sekali dilakukan sejak awal. Dari situ lalu berlanjut ke hal teknis tentang bagaimana cara menjual, gimmick apa yang mau dipakai, bagaimana langkah-langkahnya, mau berjualan apa saja. Pokoknya, yang penting ubah pelan-pelan mindset dari sekedar bermain musik untuk membuat musik saja, menjadi bermain musik untuk membuat musik dan bisa didengarkan orang lain.

Setelahnya, kita baru bisa berbicara diversifikasi dari band sebagai unit usaha tadi.

Bagaimana bisa seorang musisi yang hidup di musik, bisa memiliki beberapa aset mini market? GIGI misalnya. Bagaimana bisa, seorang musisi punya banyak cabang restoran? The Changcuters misalnya. Bagaimana Endank Soekamti memiliki Does University? Euforia record, Euforia Digital? Adam Subarkah punya café tombo ngelak, dan teman teman Sheila On 7 dengan usaha mereka masing masing? Single Maliq & D’essential, sebelum liris, sudah dibeli (bukan beli putus) oleh pihak McD Indonesia seharga 3 Milyar selama setahun?

Menurut saya, ini yang dinamakan pekerjaan dan unit usaha: hidup dan menghidupi musik. Lantas apakah yang murni nge-band tanpa berniat jualan adalah jalan yang salah? Nah, kan, sukanya kok bertanya penuh tendensi begitu. Ya ndak lah salah, ndak ada yang salah.

Menurut saya, yang namanya pekerjaan ya harus ada rencananya, ada tujuannya, ada harapan akan hasil yang diperoleh kedepan. Hal-hal inilah yang membuat sebuah pekerjaan terus “bekerja”. Nyata, ada buktinya.

Apakah artinya menjadi seorang musisi adalah kedok untuk menjadi seorang businessman dalam karir di luar musik? Duh, kan. Senengane lho, provokasi terus. Dah ah, bhay.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *