Menjelang tengah malam saat itu, sewaktu lagi galau habis-habisan (bukan karena ditinggal pacar, tapi gara-gara tugas kuliah nggak kelar-kelar), saya masih terjaga. Karena males ngerjain tugas kuliah dan sedikit gabut, saya akhirnya bangun dengan niatan mendengarkan lagu. Spontan (AWAS YA KALAU BILANG UHUY!), saya membuka kanal musik digital dan bergegas memutar lagu milik .Feast, band asal Jakarta yang kebetulan baru saja mengeluarkan mini album bertajuk Beberapa Orang Memaafkan. Berbekal rasa ingin tahu yang tinggi, saya langsung mengulik album tersebut. Tentu saja sembari merem-melek, menikmati musik yang mengalun.
Respon pertama, saya cukup terkejut dengan track berjudul “Apa Kata Bapak”. Hmm.. penasaran nggak kenapa saya terkejut? Kalau enggak, saya tetap mau ceritain. Jadi gini, biasanya yang bikin saya feel surprised pas pertama dengerin lagu adalah sound dan aspek musikalitasnya. Namun, dalam lagu ini, .Feast berhasil membuat saya terkejut dengan liriknya! Saat itu juga dalam hati saya langsung bilang: GOKIL JUGA NIH LAGU!
Membawa tema tentang pendidikan, track pertama dari mini album berjudul “Apa Kata Bapak” mampu membawa imaji saya ke dalam ruang kuliah— lebih jauh, saya merasakan lagu itu ngena ketika berkomentar soal pendidikan. Menggunakan sedikit sarkasme, lirik lagu tersebut mampu dengan tepat mengenai sasaran, terutama bagi mereka yang main-main sama sistem pendidikan.
“…Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah “Departemen Untuk Lebih Mendidik dan Membudayakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”…”
Bingung, kan?
Entah sebenarnya emang saya paham betul atau enggak sama liriknya, buat saya maknanya ngena banget! Dalam lirik ini, saya memahami .Feast banyak menyentil dan membicarakan soal pendidikan. Jika boleh saya maknai lebih jauh, mungkin juga mereka sedang mengkritisinya.
Dari sini, saya berpikir bahwa musik bisa menjadi sesuatu yang berbahaya, atau senjata, lebih tepatnya. Kemampuan musik dalam menjelaskan realita sosial dan “menyerangnya” sangatlah kuat. Belum lagi kemampuannya untuk melakukan mobilisasi massa. Tidak heran musik juga menjadi salah satu alat kampanye politik yang efektif.
Musik menjadi berbahaya karena musik dengan mudah dapat diterima indera manusia. Sedikit mengutip Street (2003), beliau ini pernah bilang bahwa lagu dan suara adalah senjata yang sangat kuat karena musik bekerja langsung pada emosi kita. Musik bisa menyebabkan rasa senang, tenang, sedih, kecewa, semangat, depresi, dan sebagainya.
Kalau kata Georgi Lozanov malah lebih seru lagi. Menurutnya, musik bahkan memiliki pengaruh fisik bagi manusia. Irama, ketukan, dan keharmonisan musik dapat mempengaruhi fisiologi manusia, terutama gelombang otak dan detak jantung.
Tambah lagi deh datanya. Menurut Eyerman&Jamison (2003), musik bahkan disebut bisa mendorong seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Maka, musik sesungguhnya sangat berpotensi menjadi salah satu sarana alternatif untuk mengkritisi realita sosial. Tentu saja, dengan ramuan musikalitas dan kata-kata ciamik pula.
Sudah banyak contoh musisi selain .Feast yang menggunakan musik sebagai lebih dari media hiburan. Iwan Fals, Bimbo, hingga Elpamas adalah tiga contoh lain yang langsung terpikir oleh saya. Ketika kritik dengan media, baik ucapan ataupun tulisan, tidak sepenuhnya dapat mengenai sasaran, bukankah musik bisa menjadi salah satu jalan? Makanya, Ayo bikin lagu dan memberontak!
Referensi:
Campbell, D. (2001). Efek Mozart. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Pasiak, T. (2007). Brain Management for Self Improvement. Bandung: Mizan.
Street, J. (2003). Fight the Power: The Politics of Music and the Music of Politics. Oxford: Blackwell Publishing.
Leave a Reply