Sudah menonton Bohemian Rhapsody?
Terserah Anda mau suka atau tidak. Buat saya, film biopik komersil ini sukses menjadi bahan perbincangan masyarakat. Fans berat Queen, fans biasa saja Queen, fans yang hanya sedikit tahu Queen, sampai fans yang baru tahu Queen-itu-ternyata-sebuah-band-dan-bukan-hanya-biskuit-cokelat semuanya berkumpul menikmati filmnya.
Yang jelas pasca-tayang, hampir semua video penampilan Queen di YouTube melonjak viewers-nya: menandakan banyak sekali orang bernostalgia atau mencari tahu soal Queen setelah film ini rilis.
Saya sudah nonton Bohemian Rhapsody dua kali, jangan tanya sama siapa. Sebagai anak band (walaupun band saya sudah bubar), film ini membuat saya terharu dan ingin ben-benan terus.
Lagu-lagu Queen cukup personal buat saya karena mendengarkannya selalu membawa saya ke masa saya disikatin giginya oleh ayah saat mandi sore. Terbukti ketika saya menonton filmnya, mulut saya tiba-tiba segar karena berasa sedang sikat gigi, loh opo sih racetho.
Yang paling menarik buat saya dari film ini adalah bagaimana Bohemian Rhapsody membuka pengetahuan bagi orang awam bahwa in a band there’re a lot of works to do (gile bahasa inggris cuy). Netijen harus sadar bahwa lagu-lagu yang netijen dengar itu sudah melewati jalan yang panjang: bagaimana proses dalam pembuatan lagu hingga perdebatan-perdebatan antar personel dan segudang kompleksitas lainnya.
Sial, saya rindu ben-benan, curhat mulu gapapa ya.
Perlu dicatat bahwa sebagai film biopik berdasarkan kisah nyata, tentu ada beberapa bagian yang ditambah atau disederhanakan untuk kepentingan drama naratif. Namun, tentu kita semua sepakat bahwa benang merah di film itu adalah sesuatu yang “benar-benar terjadi”.
Hal ini penting diingat karena film ini menceritakan bagaimana personel dengan berbagai disiplin (astrophysics, electrical engineering, dentistry dan design) memerankan peranannya masing-masing di dalam band dan itu benar adanya. Ditambah lagi, memperkenalkan bagaimana industri musik bekerja kepada khalayak umum juga sebuah insight yang menarik.
Ada beberapa dokumenter yang juga patut ditonton jika ingin mengetahui secara lebih dalam mengenai perjalanan Queen, seperti:
Inside The Rhapsody (2002)
Dokumenter ini khusus untuk membahas lagu “Bohemian Rhapsody” secara keseluruhan baik dari sisi non-teknis hingga sisi teknis.
Lagu yang boleh saya bilang sebagai masterpiece dari band ini diproduksi pada tahun 1975, terdapat dalam album Night at the Opera. Brian May membedah tuntas multi-track dari lagu Bohemian Rhapsody beserta proses perekamannya.
Queen: Days of Our Life (2011)
Film dokumenter ini membahas perjalanan Queen secara lebih detil dari awal hingga akhir. Bisa dibilang isinya lebih substansial terkait informasi-informasi sejarah mengenai perjalanan band tersebut.
Baca Juga: Perasaan yang Muncul Ketika Penonton Menyanyikan Lagu Anda Sendiri
***
Dalam film Bohemian Rhapsody, cerita berhenti di tahun 1985 ketika mereka bersatu kembali dalam konser Live Aid. Setelah reuni itu, Queen kembali memproduksi 4 album yaitu Kind of Magic (1986), The Miracle (1989), Innuendo (1991) dan Made in Heaven (1995).
Semenjak positif mengidap AIDS, Freddie Mercury tidak ingin menyia-nyiakan waktunya untuk tidak menulis dan merekam lagu. Bahkan di saat kondisinya yang semakin melemah, ia tetap memaksakan diri, termasuk menyanyikan lagu “The Show Must Go On” yang direkam pada tahun 1990.
Dalam pernyataannya, Brian May mengatakan: “I said, ‘Fred, I don’t know if this is going to be possible to sing.‘ And he went, ‘I’ll fucking do it, darling‘ — vodka down — and went in and killed it, completely lacerated that vocal.”
Lagu dari album Innuendo tersebut pun dirilis sebagai single pada 14 Oktober 1991 di UK tepat 10 hari sebelum Freddie Mercury menghembuskan nafas terakhirnya pada 24 Oktober 1991.
Tak hanya itu, setelah pembuatan album Innuendo selesai pun Freddie tetap merekam sebanyak mungkin track yang ia bisa, berdasarkan kutipan dari Brian May saat masa-masa terakhirnya bersama Freddie:
“We basically lived in the studio for a while and when he would call and say, ‘I can come in for a few hours‘, our plan was to just make as much use of him as we could, you know he told us, ‘Get me to sing anything, write me anything and I will sing it and I will leave you as much as I possibly can.“
Lagu Mother Love adalah lagu terakhir yang ditulis Freddie dan Brian bersama. Direkam pada 1991, lagu ini dirilis setelah kematian Freddie dalam album Made in Heaven.
Ada cerita sedih di balik lagu tersebut: Saat hendak merekam bait terakhir, Freddie berkata kepada Brian bahwa dirinya harus pergi sebentar dan istirahat, ia berjanji untuk kembali ke studio nanti dan menyelesaikannya. Namun, setelah itu dia tidak pernah kembali lagi.
Brian lah yang kemudian mengisi vokal pada bait terakhir tersebut.
Banyak kenangan dan wawasan yang bisa dirasakan dan didapatkan ketika kita mendengarkan lagu-lagu Queen, begitu juga pelajaran berharga mengenai kehidupan mereka sebagai orang-orang hebat. Kegigihan dan ketidaktakutan mereka akan apapun membuat perjalanan hidup mereka menjadi begitu luar biasa.
“I am just a musical prostitute, my dear” begitu Freddie menjuluki dirinya sendiri. Saya sangat setuju. Siapapun yang tetap terus menulis musik hingga titik darah penghabisannya lah yang berhak memegang julukan tersebut.
Terima kasih Freddie Mercury, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon atas perjuangan penuh inspirasinya.
Leave a Reply