Hidup Parodi Ala Sastromoeni (Bagian 1)

by


Faisal Amin adalah mantan gitaris band parodi turun-temurun milik Sastra Budaya UGM, Sastromoeni.

Hidup Parodi Ala Sastromoeni hookspace musik jogja

Bagi yang merasa menjadi anak band itu susah, pasti belum pernah merasakan menjadi anak band parodi.

Bagaimana tidak, hidup kami dituntut untuk selalu lucu. Tidak hanya di atas panggung, di bawah panggung pun besarnya tuntutan tetap sama. Sialnya lagi, setelah saya “diwisuda” dari Sastromoeni dan resmi pensiun, masyarakat tetap menginginkan saya untuk lucu. Bahkan, saat membuat tulisan ini saya juga diharapkan untuk melucu. Pusing, bukan?

Maaf, saya harus mengecewakan ekspektasi tersebut. Di tulisan ini saya tidak akan berusaha melucu sama sekali. Saya sadar penuh bahwa tulisan penuh motivasi jauh lebih bermanfaat daripada tulisan penuh kelucuan. Jika kalian setuju tolong like dan sebarkan tulisan ini.

Jadi, saya mulai saja cerita tentang saya dan Sastromoeni.

Peran saya di band ini diawali sebagai kru gitar. Saat itu saya membantu Mas Dodo, gitaris Sasmun (panggilan sayang Sastromoeni) angkatan 14. Satu tahun waktu yang saya habiskan di jabatan ini sebelum akhirnya naik pangkat menjadi gitaris pada Mei 2014. Dari satu tahun penuh keringat itu, saya tidak akan pernah lupa soal pekerjaan pertama saya.

Sadar diri sebagai kru gitar pemula, saya belajar mati-matian soal teknik routing gitar sebelum mulai bekerja. Apakah Mas Dodo lebih suka direct atau todong? Bagaimana saya bisa membuat Mas Dodo nyaman di atas panggung? Harapannya, saya belajar agar para senior bisa mengerti kemampuan saya dan keseriusan saya ini (riya).

Ketika hari pertama bekerja tiba, saya harus menghadapi kenyataan bahwa pekerjaan saya hari itu hanya mengantarkan Pocari Sweat ke atas panggung dan membaginya ke personel Sasmun. Sudah, itu saja.

Sambil mbatin saya berujar dalam hati jancuk pekerjaan apa ini bangsat. Tapi ya sudah, mengingat tujuan saya sudah bulat untuk menggantikan Mas Dodo, saya harus menerima konsekuensinya apa pun yang terjadi. Paringono sabar, gusti.

Pekerjaan mengantar botol minuman ke atas panggung saya lakoni hampir selama sebulan dengan penuh semangat dan penuh harap. Saya bermimpi suatu saat job saya ini akan meningkat, tidak hanya mengantar botol minum ke atas panggung, tapi ya sesekali mengantar nasi kotak juga biar mereka tidak kelaparan di atas sana.

Nyatanya setelah lebih dari sebulan, semangat saya mulai redup, saya ingin menyerah.

Sepertinya senior saya menyadari kelesuan saya ini. Sesaat sebelum saya mengaku ingin menyerah, peran saya ditingkatkan dari pengantar botol minum menjadi penata kabel. Tujuan pekerjaan ini: agar penampilan band secara visual tetap rapi dari kabel yang kusut. Meski pun saya masih ingin sambat, tapi ya sudahlah toh pekerjaan ini sudah terlihat lebih keren. Setidaknya saya bisa memamerkan kemampuan menggulung kabel yang baik dan benar ke penonton. Kalau pengantar botol minum apa yang dipamerkan? Cara melepas plastik logo dari botolnya?

Dari pengalaman ini lah saya sampai sekarang terus berusaha memuliakan semua pekerjaan di bidang musik: dari mulai penggulung kabel, pengantar minum, hingga produser kelas wahid. Tidak ada diskriminasi pekerjaan di musik! Musik tidak haram! Merdeka!

Singkat cerita, setelah 10 bulan menjadi kru gitar, 1 bulan menjadi kabel-man, dan 1 bulan menjadi pocari-man, saya diangkat menjadi personel Sastromoeni. Ada perasaan bangga muncul juga.

Fakultas Kedokteran Hewan menjadi saksi atas panggung pertama saya. Pada penampilan perdana tersebut, senar gitar saya putus. Jancuk.

Hati saya semakin canggung ketika melihat hasil dokumentasi foto pasca-manggung. Sebagai band parodi, saya manggung menggunakan legging teman saya yang tipis dan super ketat. Saya lihat-lihat fotonya. Astaga, nonjol banget. Saya lihat-lihat foto yang lain. Hampir semuanya menonjol di bagian anu saya. Sejak saat itu, saya tidak berani menampakkan muka di FKH.

Pengalaman yang tidak kalah ambyar terjadi di SMA 1 Wonosari.

Saat itu saya manggung menggunakan kostum macan yang teramat seksi. Lilitan kain motif macan dengan ketinggian 10 cm di atas lutut membuat saya agak kurang nyaman. Sesaat sebelum manggung, saya lihat teman-teman yang lain: kok mereka baik-baik saja menggunakan kostum serupa, ya? Wah, saya tidak bisa mundur ini. Gimana lagi, band parodi je.

Sebelum tampil, saya deg-degan karena kebetulan tidak menggunakan ikat pinggang seperti biasanya. Untuk mengakalinya, saya lilitkan sehelai kain dengan tali rafia dan diperkuat dengan beberapa peniti hasil rampasan dari LO Sasmun yang kebetulan berjilbab.

Meski pun memakai kostum macan yang diikat paksa, saya sangat menikmati pertunjukan tersebut. Nyatanya semua berjalan lancar tanpa kendala…

sampai peniti yang saya pakai terlepas.

Yang membuat kain lilit saya ikut terlepas.

Yang membuat saya mendadak hanya mengenakan bawahan sempak saja.

Saya panik dan langsung turun panggung. Jancuk, Band-bandan kok koyo ngene banget yo.


Posted

in

by

Comments

One response to “Hidup Parodi Ala Sastromoeni (Bagian 1)”

  1. […] Sekuel cerita Faisal Amin ketika menjadi gitaris Sastromoeni. Bagi yang belum membaca bagian satu, klik tautan berikut. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *