Ngobrol Santai bersama Christabel Annora

by


Eliesta Handitya menodong ramah Christabel Annora untuk berbicara tentang musik dan fashion, dan ini bukan julid. (redaksi)

Awal april lalu, HOOKSpace mendapat kesempatan berbincang santai bersama Christabel Annora— atau biasa dipanggil Ista. Selain soal musikalitasnya, kami ngobrol juga tentang hobi, pekerjaan, awal mula suka musik, side project yang sedang dilakukan, hingga bincang tentang rupa-rupa skena musik di Kota Malang.

Iseng-iseng tak berhadiah, kami pun berdiskusi ringan soal industri fashion— dunia yang juga dekat dengan Ista saat ini. Kami pun meminta pandangannya soal style, penampilan panggung, hingga lebih jauh : soal pandangannya tentang industri fast fashion sebagai salah satu fenomena yang cukup dekat dengannya sebagai mahasiwa jurusan manajemen tekstil.

Sembari menunggu Christabel pulang November nanti, yuk kangen-kangenan dulu lewat dialog aksara (tsah!).

Langsung, ya!

Halo, Ista! Sejak kapan sih kamu main piano?

Aku dari kecil emang suka musik. Aku les musik dari SD sampe SMP, terus akhirnya ngajar kursus piano sejak SMA. Saat SMA, aku juga jadi asisten paduan suara dan nge-band. Kemudian aku ngajar les piano sampai kelar kuliah. Untuk saat ini aku vakum ngajar dulu sampai studi ku kelar.

Ngajar kursus piano di mana, kalau boleh tahu?

Sekolah Musik Indonesia di Surabaya. Selain itu, aku juga ngajar musik di salah satu Taman Kanak-Kanak Internasional.

Kesibukan selain di dunia musik?

Kuliah! Dan saat ini aku juga berstatus dosen di salah satu universitas di Surabaya.

Kalau disuruh milih salah satu, jadi akademisi atau musisi?

Haha, sayangnya ngga bisa-bisa milih aku, mbak. Aku enjoy njalanin dua-duanya. Emang pada dasarnya nggak bisa diem anaknya.

Ista pernah bilang punya cita-cita membuat sekolah musik. Masih pengen nggak?

Iya dong, masih pengen banget, tapi untuk bikin sekolah musik, kan, perjalanannya panjang. Step by step dulu aja sekarang.

Mulai terjun jadi musisi sejak kapan?

Aku mulai nge-band dari SMA. Band ku sewaktu SMA dulu namanya Nevarest. Itu band kesayanganku banget jaman SMA! Haha. Seneng rasanya pernah jadi bagian dari band sekolah. Tapi waktu lulus kuliah, kami nggak nge-band lagi.

Walaupun udah nggak nge-band, setelah lulus SMA aku terus bikin musikku sendiri, meskipun saat itu belum berani nge-publish karyaku. Awalnya, aku lebih banyak mengiringi temanku atau musisi yang manggung.

Bagaimana akhirnya Ista mulai berani mempublikasikan karya sendiri?

Jadi sebenarnya, lagu yang kucipakan itu sudah sangat banyak— bahkan menumpul. Pada akhirnya sekitar tahun 2014 atau 2015, aku mulai berani rekaman, dan akhirnya rilis lah album pertama ku, “Talking Days”.

Aku tuh aslinya pemalu, loh. Kalau waktu itu nggak ada yang nyuruh aku rekaman, bisa jadi aku nggak akan pernah rilis karyaku. Beruntung dikelilingi teman-teman yang mendukung aku terus maju dan menunjukkan karya musik ku.

Ada cerita menarik di balik album pertama (Talking Days)?

Tentu saja! Jadi waktu itu aku rekaman di Say Record, label musik independen di Malang. Nah, album Talking Days itu dirilis pertama kali di Folk Music Festival 2016. Yang menarik, awalnya aku Cuma rilis 50 keping CD album. Bukan karena pengen limited edition sebenernya, tapi karena saat itu aku dan teman-teman nempelin dan ngelemin kertas di album sendiri, rasanya nggak nutut (-waktunya tidak cukup, bahasa slang khas Malang) kalau mau rilis banyak saat itu, haha.

Meskipun beberapa minggu setelah itu album “Talking Days” mulai dirilis dalam jumlah banyak, cerita itu cukup berkesan bagi aku. 50 keping handmade CD pertama. Kayaknya, kalau ada yang dapat album yang lipatan kertasnya miring— itu palingan aku yang ngerjain. Haha.

Berarti Folk Music Festival dapat dikatakan menjadi salah satu panggung paling berkesan bagi signifikansi Christabel sebagai musisi?

 Jelas! Folk Music Festival sangat berkesan bagiku.

Ada rencana bikin album lagi?

Ada dong! Ini sedang dalam proses pengerjaan. Sudah menyiapkan materi, cuma belum tahu mau rilis kapan.

Ada bocoran album, nggak nih?

Haha, tentu saja! Sudah keluar, kok, satu single-nya Maret lalu, judulnya “Dari Jauh”!

Ngomong-ngomong soal Album “Talking Days”, vibes-nya kan berbicara soal kehidupan seseorang selama satu hari, kan. Ada cerita yang bisa di bagi soal album itu?

Bagiku, lagu-lagu dalam album “Talking Days” merupakan pesan motivasi dan refleksi ketika kita sedang menjalani hari. Analoginya, setiap hari ketika kita bangun, speedometer kita masih ada di angka 0. Kemudian, untuk mencapai angka 10, kita harus menanjak dari 1,2,3,4,5,6,7,8,9, baru 10. Menurutku, dalam satu hari kita selalu mengalami kehidupan yang sangat dinamis. Komplit– bahkan complicated. Yang paling penting, adalah bagaimana kita harus terus bersyukur.

Di lagu pertama, “Daily Reflection”— merupakan salah satu lagu yang berisi motivasi untuk terus bersyukur. Ketika bangun tidur, kita merenung dann merefleksikan pencapaian kita kemarin, dan melempar pertanyaan bagi diri sendiri : “Sudah siap kah menjalani hari ini?”

Kemudian, dalam lagu”60hour/Km”, menceritakan tentang menjalani hidup dengan speed yang ideal bagiku. Jadi, “60km/hour” adalah speed menyetir yang aku pilih ketika bepergian agak jauh— tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Lagu itu merupakan metafora, bahwa ketika kita menjalani hidup terlalu cepat, kita bisa jadi lupa teman-teman dan keluarga. Namun  begitu pula sebaliknya, jika terlalu santai dan malas-malasan, kita nggak dapat apa-apa.

Selama masa studi di UK, Ista menyebutnya vakum atau..?

Enggak, aku nggak vakum. Kemarin Bulan Desember 2017 aku rilis Video Klip. Bulan Maret (1/3/18) lalu aku juga habis rilis single. cuma bedanya aku nggak manggung saja.

Skena musik di Malang beberapa tahun terakhir nampaknya semakin hidup. Pendapat Ista?

Yap! Aku setuju. Dan yang aku bikin kagum di Malang itu semua skena itu ada, mulai dari punk, britpop, metal, dan lain-lain. Tapi kemunculan Solois itu sendiri masih baru. Kira-kira tahun 2010-an baru mulai eksis.

Sebelum itu, ada satu tempat yang keren sekali sampai sekarang, namanya Houtenhand. Aku harus berterimakasih banyak dengan hHutenhand sebab menurutku tempat ini merupakan tempat pertama yang benar-benar menjadi wadah skena musik teman-teman musisi di Malang.

Menurutku, basis Komunitas di Malang juga sangat dinamis. Komunitasnya juga kuat.

Waktu SMA lebih banyak main piano atau nyanyi?

Aku nyanyi doang waktu itu hehe. Ada temanku yang main keyboard. Tapi ya kadang-kadang aku ikut main juga— style main barengan di satu keyboard a la band festival SMA lah! Haha.

Kalau harus memilih salah satu, pilih jadi pianis atau vokalis?

100% pianis! tidak ragu sama sekali. walaupun misal nggak dikasih kesempatan buat nyanyi, aku pilih main piano. Aku seneng banget sebenernya ngiringin orang nyanyi. Aku juga masih sering bantuin wedding band dan main piano.

Sebagai seorang mahasiswa manajemen tekstil, boleh dong kita ngobrolin tentang wacana musik hubungannya sama fashion?

Haha, tentu saja!

Buat mbak ista, fashion style ketika manggung itu penting nggak sih?

Sebenarnya bukan syarat utama sih, tapi bagiku fashion style penting untuk menjadi penunjang dan jembatan untuk menyampaikan pesan ke pendengar melalui visual look kita. Analoginya sederhana, ketika kita manggung kan— orang-orang melihat visual kita. Kalau semisal pesan dari lagunya sampai, tapi visualnya zonk— kan sama aja nggak akan 100% nyampai pesannya. Fashion style turut mendukung pesan dari lagu yang kita sampaikan sih.

Perlu nggak melakukan style branding ketika di atas panggung?

Haha, enggak sih kalau aku tidak pernah terlalu nge-branding aku harus pakai baju seperti apa. Yang penting aku nyaman aja sih, dan juga outfit yang sekiranya catchy, haha. Paling tidak, outfit yang aku kenakan sudah cukup mewakili diriku seperti apa.

Aku juga nggak punya tim make up. Dandan sendiri, itu pun masih belajar. Paling enggak, nggak kileng-kileng berminyak deh di atas panggung. Hahaha. Yang penting kelihatan good looking ketika manggung.

Suka pakai outfit seperti apa?

Kalau sedang nggak manggung, aku suka pakai celana panjang dan kaos aja. Nggak pernah bosen sama style sendiri. Haha. Tapi kalau manggung aku lebih suka pakai loose dress, pokoknya yang baggy gitu, dan aku juga suka pakai outfit yang warnanya pastel kaya gini lah!

Sebagai orang yang cukup dekat degan permasalahan industri tekstil dan fashion, apa pendapat mbak Ista soal fenomena industri fast fashion?

Duh, complicated sih.. buatku fast fashion itu sangat guilty pleasure, ya. Masalahnya, aku sendiri sudah tahu bagaimana proses di balik retailers itu. Ngelihat logika produksi industri retailers yang kondisi kerjanya tidak baik, dan jumlahnya tidak sedikit.

Yang paling bikin sedih, itu bagaimana perusahaan retailers besar seringkali tidak membayar gaji pegawai mereka. Salah satu kasusnya aku temukan di Turki di mana pegawai tidak di bayar sampai setahun lebih. Permasalahan industri fast fashion dan lingkungan juga penting dikritisi, tapi masalah kemanusiaan ini juga jauh lebih penting, sih. Bukannya aku nggak peduli sama lingkungan, ya. Tapi.. ini tuh yang disakitin manusia, lho. Mereka punya kehidupan, mereka punya keluarga. Fenomena ini menyakitkan buatku.

Dan yang paling parah, adalah bagaimana industri fast fashion seringkali tidak ada transparansi. Kita sebagai konsumen seringkali nggak pernah tahu dari mana pakaian itu berasal, dari mana mereka diproduksi. Konsumen tidak pernah diberitahu rantai produksi itu, sehingga kita jarang mengetahui kondisi kerja buruh pabrik tekstil di industri fast fashion yang sebenarnya.

Kenapa guilty pleasure? Sebenernya simpel nggak simpel sih— alasannya karena aku nggak punya uang banyak, haha. Misal kalau mau beli produk yang punya tanggung jawab sosial yang baik, transparansinya oke, atau menerapkan slow fashion misal membeli produk seperti Channel, dll— nggak cukup, lho, duitku. Hahaha.

Menurutku, cara terbaik salah satunya dengan membeli pakaian bekas pakai (secondhand), atau preloved stuffs. Hitung-hitung ikut melanggengkan nilai pakai barang, kan. Mencoba memperpanjang usia barang yang seharusnya sudah “habis pakai” di satu pemilik. Aku sih sering banget beli pakaian secondhand, bahkan aku dulu juga sering jualin baju-bajuku sendiri kalau ada acara di Malang. Seru!

Sekarang aku juga masih sering beli pakaian secondhand kok di UK. Di sana ada yang namanya donation store. Meskipun banyak pakaian yang fast fashion-branded, paling tidak dengan membeli mereka, aku turut membantu memanjangkan umur pakaian. Mencoba sustainable dan menerapkan zero waste living pelan-pelan.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *