(sayup-sayup terdengar teriakan “halah alesan aja gara-gara gak ada yang mau diajak kan!”)
Tenang, bro. Saya ceritakan dulu.
Nonton acara musik: entah konser, showcase, atau apapun, katanya lebih seru kalau berangkat bareng teman-teman dekat. Kata cerita-cerita daerah urban sih asyiknya itu ada di berangkat barengnya (tebeng-tebengan), nyanyi barengnya, ya seru-seruan bareng lah.
Tapi, pernahkah Anda-Anda ini berangkat sendirian ke acara musik alias nonton sendirian? Kalau belum pernah, sini kamu anak manja, biar saya ceritakan rasanya.
Saya terbiasa berangkat nonton gigs sendirian. Kebiasaan ini sebenarnya sudah ada semenjak saya tinggal di Jogja beberapa tahun lalu. Saat kini saya sudah berdomisili di Jakarta, kebiasaan ini rupanya terbawa.
Ada beberapa alasan saya memilih berangkat sendirian. Pertama, menurut saya, tidak ada kebebasan untuk menikmati musik yang hakiki ketika kita berangkat bersama orang lain. Soalnya, kita mau tak mau harus memikirkan perasaan si orang tersebut. Apalagi kalau main sama gebetan (belum pacar loh), wah repot sekali! Pertama, kita belum bisa menenangkan perasaannya dengan memeluknya dari belakang. Kedua, ada kegelisahan yang timbul di hati kita sembari menonton acara.
“Dia suka bandnya gak ya? Suka lagunya gak ya? Dia bete gak ya? Kok malah main hape ya? Loh kok malah buka pornhub ya?”
Hasrat kita fokus menonton penampil menjadi rentan karena kekhawatiran berlebih. Alhasil, ibadah permusikan menjadi tidak khusyuk.
Alasan selanjutnya kenapa saya lebih suka datang sendiri: bisa kenalan dengan orang baru secara leluasa. Misalnya, saya sering sekali berkenalan dengan penjaga tiket konser. Biasanya manuver ini saya mulai dengan minta tolong dipakaikan tiket gelang. Biasanya, kalau panitianya lagi tidak sibuk ya pasti dipakein. Sambil dipakein, kita bisa tanya-tanya rundown atau arah kamar mandi. Obrolan biasanya berlanjut ke rencana 5 tahun ke depan atau kapan saya bisa ketemu orang tuanya.
Saya pribadi beberapa kali bisa kenalan sama orang (((asing))) di dalam acara-acara musik karena datang sendiri. Biasanya perkenalan ini diawali dari sharing air putih, nyanyi bareng, atau ya memang sedang dalam pengaruh mimik jahat. Sebagai manusia semi-ekstrovert, hal seperti itu seperti sudah jadi bakat saya. Kayaknya kalau diasah dengan baik, saya yakin bisa dapat downline MLM di acara musik.
Lalu, apalagi kelebihan datang sendiri?
Nah, misal kita datang ke acara multi-stage seperti festival, kita tidak perlu repot-repot memikirkan partner kita sukanya nonton apa. Kita bebas kesana kemari pindah-pindah panggung. Enak, tidak harus berkompromi dengan selera teman kita ini. Dengan kesendirian ini pula kita bisa bebas menyelip-nyelip kerumunan menuju posisi paling menguntungkan. Kalau berdua, agak susah nyelipnya.
Selain itu, ((((kesendirian)))) ini membebaskan kita dari kebingungan mencari teman kita kalau terpisah cukup lama. Soalnya, sinyal ponsel kadang tidak terlalu bagus kalau dalam acara musik.
Tapi, apakah datang sendiri memang terus-terusan lebih enak? Ya enggak jugak sih, ada kalanya rasa anyep itu datang.
Dalam beberapa acara musik di Jakarta, mereka sudah jarang pakai MC. Jadi, pergantian set panggung biasanya cuman dikasih playback aja sembari panggung digelapin. Jeda 20 sampai 30 menit itu kadang kita bingung kalau di sekitar ga ada prospek untuk diajak ngobrol atau kenalan. Akhirnya ya scroll-scroll Instagram atau Twitter aja. Anyep tenan.
Terlebih lagi kadang ada hasrat ingin menikmati lagu dengan orang yang kita sayangi. Saya juga pengen kan bisa nyanyi lagu Maliq berangkulan pacar, nyanyi lagu Kunto Aji sambil mewek bareng temen sebangku kuliah, ber-Diskoria sama temen kantor, atau lompat-lompat pas Naif bawain “Mobil Balap” sama kerabat satu geng SMA.
Tapi nanti ya, kalau saya sudah menemukan kenyamanan nonton beramai-ramai, saya tulis lagi. Sementara, doakan saya punya pasangan dulu.
Leave a Reply