Tulisan ini saya tulis tanpa kepentingan apapun kecuali hanya sekadar berbagi.. dan syukur-syukur menjadi terkenal. Untuk yang terakhir saya anggap bonus saja.
Beberapa hari sebelum tulisan ini tercipta oleh rasa sayang dan rasa tampan, saya mendapat dorongan dari seseorang yang meminta saya berbagi pengalaman sebagai pemusik teater. Awalnya, saya sok-sokan menolak. Enak saja, pengalaman saya ini mahal harganya. Main asal bagi saja.
Namun, seseorang ini kemudian memberikan tawaran menarik seperti menjanjikan saya akan membelikan cokelat panas, membantu menyelesaikan puzzle, dan menemani bermain tic-tac-toe. Saya luluh. Saya memang anaknya mudah dirayu.
Yasudah, saya mau cerita. Semoga ada maknanya.
Karir saya menjadi pemusik teater dimulai ketika saya menyandang gelar Maba: mahasiswa baru lho ya, bukan main bareng, apalagi maksiat bareng. Duh, yang terakhir kok enak.
Saat itu, ada acara namanya Inaugurasi, semacam pentas seni antarjurusan di FIB UG* (nama sengaja disamarkan karena sudah pasti ketahuan). Kala itu, kami, maba jurusan Sastra Indonesia, menampilkan sebuah drama pendek berjudul Mengapa (Harus) Cinta? dengan daftar pemain Adit, Wicak, Dedek, Fajar, Dayat, Marlina, dan Ayu. Ini kenapa saya sebutkan di sini, kayak pada kenal saja.
Kebetulan, saya bersama dua kawan, Lutfi dan Anta, menjadi pemusiknya.
Karena baru pertama kali mengiringi pementasan macam itu, saya merasa sangat pah-poh dan kikuk. Bingung mau ngapain. Andai saja waktu itu Mbak Nissa Sabyan sudah nge-hits, saya tentu akan memilih berhmmm ala Mbak Nissa selama 12 jam. Tapi sayang, saat itu yang nge-hits adalah video intro “Akad” selama dua hari. Bisa jeber bibir saya kalau harus meniup terompet selama itu.
Untungnya, dengan bimbingan rekan seniman semiguru saya, saya pun diberikan pelatihan tentang bagaimana menjadi pengiring teater yang baik. Perlahan saya memiliki rasa percaya diri dan tenang dalam berproses. Kami tampil ciamik dalam pementasan dan walhasil Sastra Indonesia terpilih sebagai penampil terbaik. Ini saya bukannya sombong lho ya, kami memang bagus kok.
Dampak kemenangn itu langsung terasa, bermacam-macam tawaran mengiringi teater datang silih berganti. Ketenaran ini membuat saya si mahasiswa kupu-kupu berubah menjadi mahasiswa pinter, alias pengiring teater. Salah satu puncaknya, akhirnya saya didaulat menjadi pengiring pementasan teater skala besar pertama saya: teater penutupan Bulan Bahasa 2016 dengan judul Hah karya Putu Wijaya.
Saya merasa level-up karena di tahun sebelumnya saya hanya didaulat menjadi panitia divisi pengamanan kendaraan alias juru parkir. Sedihnya lagi, di tahun itu instrumen saya malah sudah dipinjam kakak tingkat untuk mengiringi pementasan. Gitu, instrumen milik saya lebih dibutuhkan daripada diri saya sendiri.
Oke, mari sekarang masuk ke bagian “berbagi” yang diminta teman saya tadi.
Meski terlihat sederhana, mengiringi teater itu ternyata tidak sesimpel main lagu religi a la Opick saat ada adegan orang dipukul. Tidak semudah memberi efek suara tegang saat ada dialog semacam “Lepasin aku, Mas! Lepasin aku! Aku jijik sama Mas! Aku jijik!”
Mengiringi teater juga sangat berbeda dengan band-band-an yang banyak freestyle layaknya interlude Spirit Carries On milik Dream Theater yang tet tet toet tet tet toet dengan berbagai macam efek suara (no offense, bro.). Menjadi pengiring teater berarti wajib mengesampingkan ego untuk pamer kemampuan. Yang diutamakan di sini adalah pementasan di atas panggung. Jadi, musik yang disuguhkan haruslah mendukung suasana yang sedang ada di panggung.
Men Sano in Corpora Sano. Apa hubungannya slogan itu dengan mengiringi teater? Intinya, fisik juga dibutuhkan oleh setiap pemusik teater. Selain karena alasan meningkatkan stamina dan daya tahan saat pementasan, keharmonisan energi dengan para aktor juga harus terasah. Itulah mengapa kami sebagai pemusik tak jarang ikut pemanasan dan meditasi bersama para aktor. Kegiatan ini akan mendukung penyatuan chemistry karena pemusik dan aktor harus-lah satu visi dan satu energi. Maka tak jarang pula ketika aktor sedang makan, kami suka ikut menumpang makan di rumah mereka. Apabila aktor sedang bersedekah, kami ikut bersedekah menggunakan uang mereka.
Saya tidak mengatakan karir saya sudah tinggi sebagai pemusik teater, mungkin lebih tepatnya semakin sering manggung saja, meski di samping panggung. Ibarat kerja kantoran yang semakin lama bisa naik pangkat dari OB jadi bos gedhe, saya pun lama-kelamaan bergeser menjadi pemusik semi-aktor. Ya, kini sembari mengiringi, saya juga harus mulai akting.
Peran baru ini membuat saya sedikit kesulitan. Mau tidak mau saya harus belajar seni keaktoran yang sebenarnya. Di saat sesi latihan, ketika emosi diinstruksikan untuk memanggil memori-memori yang berkesan, saya amat kesulitan. Ya gimana ya, hidup saya ini datar-datar saja jhe. Mungkin kalau nanti saya sudah mengenal cinta sejati, saya akan lebih pandai berakting. Gimana, ada yang tertarik menjadi cinta sejati saya?
Air beriak tanda tak dalam.
Air tenang menghanyutkan.
Demikian tulisan ini saya ungkapkan.
Semoga di hati selalu berkenan.
Salam hmmnya Mbak Nissa Sabyan.
Leave a Reply