Sebuah lagu berjudul Cidro yang dinyanyikan oleh salah seorang maestro musik Indonesia
mengalun dengan syahdu dari pengeras suara ponsel sesaat setelah saya memulai tulisan ini.
Namun, ada yang terasa lain. Jika biasanya saya mendengar lagu-lagu beliau sambil bernyanyi
keras-keras dan merutuki kejahatan si mantan kekasih yang sudah mblenjani janji, kali ini saya
mendengar lagu beliau dengan perasaan luka yang lain; semacam perasaan kehilangan yang tidak memiliki obat setelah mendengar kabar bahwa si empunya lagu, Lord Didi, telah berpulang untuk selama-lamanya.
Kabar menyedihkan itu di sebuah pagi ketika saya hendak menjalankan UAS online melalui platform WhatsApp kemudian tiba-tiba sebuah grup komunitas penuh dengan notifikasi yang dimulai dengan kalimat ‘Inalillahi’. Perasaan saya sudah was-was, akhirnya saya tahu siapa yang pergi, lengkap sudah luka itu terasa.
Saya mulai mendengar lagu-lagu Didi Kempot sejak masih usia piyik melalui kaset-kaset milik Bapak yang kerap diputar dengan pengeras suara. Lagu Stasiun Balapan turut membentuk ingatan masa kecil saya meski saat itu saya tidak benar-benar mengerti artinya, hanya ikut-ikutan menirukan melodi yang khas. Belasan tahun kemudian, ketika mulai merantau dan tinggal di Yogyakarta, saya akhirnya benar-benar merasakan keintiman dan romantisme lagu-lagu itu. Terlebih, ketika mulai beranjak besar dan tahu rasanya patah hati. Lagu-lagu Lord Didi kemudian menjadi semacam medium untuk merayakan luka- luka dan pengalaman patah hati yang penuh sembilu.
Misalnya, ketika saya baru putus dari mantan, lagu-lagu Lord Didi kerap mengiringi tangis dan perasaan kehilangan saya di hampir setiap malam. Lirik-lirik lagunya yang penuh muatan stilistika seolah mampu menyuarakan isi hati terdalam, membahasakan patah hati dengan sangat piawai. Ketika saya mengetahui kekasih hati telah berkhianat, saya memutar Cidro berulang kali, kemudian berganti memutar Pamer Bojo setelah tahu ternyata mantan kekasih saya sudah punya pasangan baru.
Saat tergabung di kepanitiaan suatu event di kampus, saya sempet kesengsem dengan
seorang laki-laki yang di hari penutupan. Ia mengenakan lurik Jogja dan berjoget
penuh semangat di muka panggung ketika band pengisi acara menyanyikan Pamer Bojo versi cendol dawet. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana saya terus memutar lagu tersebut
sesampainya di indekos hanya demi mengekalkan bayangan laki-laki itu. Ketika jatuh cinta pada seorang laki-laki yang adalah seorang mahasiswa di salah satu kampus negeri di Surakarta, saya memutar Stasiun Balapan di dalam kereta Prameks pada perjalanan dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Balapan ketika saya hendak menemuinya untuk melepas rindu. Lagu tersebut merekam dengan baik bayangan laki-laki itu di kursi tunggu stasiun ketika menyambut dan melepasku pergi.
Melalui Layang Kangen, saya melalui hari-hari yang penuh rindu ketika menjalani hubungan jarak jauh dengan seseorang. Merasakan debar sesak kerinduan dalam lirik-lirik dan melodi Lord Didi yang saya putar dari ponsel pribadi. Saya dengar lagu-lagu beliau di hampir segala ruang dan situasi; ketika sedang berdiam diri di kos, ketika berkumpul bersama teman-teman, ketika datang konser (termasuk konser-konser yang bintangnya bahkan bukan Lord Didi). Saya merasa sangat dekat dan menatu secara sosiokultur. Bahkan, meskipun tidak sedang ambyar, tetap saja terasa seru ketika menyanyikan lagunya keras-keras seraya merutuki barisan laki-laki yang datang dan pergi serta segenap pengalaman patah hati yang pernah hadir.
Kepergian Lord Didi menjadi semacam pungkasaning ambyar selama saya menjadi sadgirl
yang tumbuh bersama lagu-lagunya. Sedih sekali membayangkan betapa saya dan sobat ambyar sekalian tidak lagi bisa menikmati betapa lepasnya bernyanyi di depan panggung pada
konser-konser yang menghadirkan Lord Didi sebagai bintang tamu.
Meski begitu, saya berbahagia dan bangga karena hingga akhir hayat, Lord Didi telah
menunaikan tugasnya sebagai seorang musisi dengan baik. Lagu-lagunya tersebar di seluruh
negeri, menemani sadboy dan sadgirl melalui pengalaman patah hati mereka masing-masing.
Lord Didi mengajarkan artinya berkarya secara tulus dan menebar manfaat lewat menulis.
Selamat jalan The Lord of Brokenheart, Didi Kempot, meskipun engkau telah kembali ke
panguan-Nya, namun karya-karyamu abadi dan kita semua masih dapat menikmatinya
(walaupun mungkin tidak akan terasa sama lagi).
Leave a Reply