Saya Penggemar Grrrl Gang, dan Ini Alasannya

by


Bagaimana mungkin sebuah band bisa lebih menginspirasi dari seminar motivasi?

Jum’at, 13 Juli 2018, pukul tujuh malam selepas makan ketoprak di daerah Ringinsari, saya bersama dua kawan lainnya bergegas menuju Sangat Coffee untuk menghadiri acara ‘Perkemahan Musim Semu’ yang konon katanya diselenggarakan oleh sebuah kolektif muda-mudi bernama Sekutu Imajiner.

Meskipun raga ini cukup rajin memenuhi arena moshpit acara-acara musik di Jogja, ini adalah kali pertama saya menjamah gigs kolektif. Mungkin karena sebelumnya waktu dan fikiran ini terlalu sibuk mengurusi komunitas musik di salah satu kampus nun jauh disana (sedikit pembelaan biar keliatan sibuk).

Sejujurnya tujuan pribadi untuk menghadiri event tersebut semata-mata hanya untuk melihat live performance dari Grrrl Gang, sebuah band yang saya dengarkan sejak video klip “Bathroom/Thrills” singgah di beranda akun YouTube pribadi sekitar satu tahun yang lalu. Sekitar beberapa bulan sebelum tulisan ini dibuat, baru saya ketahui bahwa band ini berasal dari Jogja. Selama ini saya kira mbak Angee berasal dari khayangan. <3

Sesampainya di lokasi, telah tampak tiga orang pria serta satu orang wanita tengah mempersiapkan rig sebelum penampilan mereka. Usut punya usut, ternyata ya mereka ini adalah Grrrl Gang (kami melewatkan penampilan band pertama, jangan dicontoh). Lagi-lagi saya dapat info baru: saya kira semua anggotanya berjenis kelamin wanita. Memang hidup saya ini penuh kebohongan.

Menikmati penampilan mereka secara khidmat di sebuah venue yang intim membuat suasana saat itu terasa begitu menyenangkan. saya berdiri tepat di belakang ampli dari Edo, sang gitaris utama, sehingga sound gitar yang terdengar terasa begitu organik. Tepat di depan saya, terlihat Akbar sang bassist membetot bass Rickenbaker. Di arah jam 2 saya, nampak Angee yang sedari tadi tidak berbahasa nusantara (ngomongnya bahasa bule terus!) menjarah sebagian besar perhatian hadirin dengan jamahan jari-jemari lentiknya. Iyan, atau yang biasa saya panggil dengan sebutan Mas Totok, dengan tega memperkosa set drumnya di arah jam 3.

Saya begitu merasakan energi dari lagu-lagu yang dimainkan oleh band ini. Sound yang organik meluncur mulus serta keintiman antara penampil dan pendengar ini belum pernah saya dapati sebelumnya. Saat itu, saya merasa seperti teman satu komunitas mereka yang siap ngopi dan udud bersama selepas acara.

Setelah acara itu, saya berbincang bersama beberapa kawan. Barulah didapati bahwasanya band saya tidaklah lebih muda dari mereka. Di saat saya masih mengulas Fazerdaze di blog pribadi, mereka telah menjadi band pembukanya ketika konser di NKRI. Di saat cita-cita band kami masih berupa manggung membawakan lagu sendiri, mereka telah melenggang memperkenalkan karya mereka di negeri orang. Betapa kontrasnya…

Sepanjang malam, Grrrl Gang menjadi topik perbincangan di kontrakan (personil band kami memang satu kontrakan). Apa formula mereka yang satu angkatan dengan band kami bisa melejit dan hit? Itulah yang harus saya dan kawan-kawan lainnya pelajari. Satu hal yang pasti: saya lebih percaya hukum alam ketimbang keberuntungan, alias semua hal yang terjadi pasti ada sebab-akibatnya.

Selain pencapaian, beberapa perbedaan antara saya dengan band yang saya kagumi ini ada di saat Akbar dan kawan-kawan membuat kelompok kolektif bernama Terror Weekend. Memang saya dan rekan-rekan juga mendirikan sebuah komunitas musik di kampus di mana beberapa penghuninya mengharamkan musik. Tapi, di saat Terror Weekend sudah berani meneguhkan eksistensi, saya dan kawan-kawan di komunitas masih berjuang untuk diakui di kampus sendiri. Di saat Terror Weekend sudah banyak berkontribusi untuk skena musik indie, saya dan kawan-kawan di komunitas masih kelimpungan mencari anggota kanan-kiri. Cukup miris.

Bukan untuk menyalahkan keadaan. Namun, mungkin karena memang visi saya saat itu yang kurang menatap jauh ke depan serta semangat ben-benan yang masih angin-anginan.

Oh iya, ada satu hal lagi yang membuat saya kagum dengan band ini. Satu waktu di akhir bulan lalu, saya rela tidak menyaksikan pertandingan klub bola favorit saya demi menghadiri acara ‘Villla Valley Festival’ yang digarap dengan apik oleh Terror Weekend di daerah Kaliurang Atas. Sesungguhnya tujuan saya datang semata-mata hanya ingin mencari hiburan sebelum sidang (sidang skripsi bukan sidang tilang).

Sembari menyuruput segelas kopi yang terasa seperti jamu brotowali (Disclaimer: saya bukan penikmat kopi), saya pun menikmati berbagai penampil di malam hari. Selepas penampilan dari Moiss, saya meletakkan gelas kopi yang telah kosong di sebelah speaker bersama dengan gelas-gelas kosong lainnya.

Saya pun mudur kebelakang untuk beristirahat dan berbincang bersama seorang teman sembari menunggu penampilan dari band selanjutnya. Tak disangka ditengah lautan massa, saya melihat seseorang mondar-mandir memunguti sampah: salah satu sampahnya adalah gelas kopi yang tadi saya letakkan sembarangan.

Pemungut sampah itu itu adalah Edo Alventa, personel Grrrl Gang sekaligus salah satu gitaris idola saya. Sekilas kejadian ini begitu mirip dengan salah satu scene di komik musik favorit saya, “BECK”. Di komik legendaris itu, ada scene di mana berbagai musisi dunia seperti Kurt Cobain dan Freddie Mercury memungut sisa-sisa sampah konser mereka. Tepat saat itu juga, saya merasa malu dan terenyuh.

Bagaimana bisa sebuah acara musik bisa lebih menginspirasi daripada seminar motivasi?

Saya Pian, seorang penggemar, akan ikut meramaikan pesta perilisan album Grrrl Gang, Not Sad but Not Fulfilled, pada tanggal 16 November di Jogja National Museum.

Bedanya, kali ini saya akan buang gelas kopi saya di tempat yang tepat.

not sad not fulfilled grrrl gang

 

 


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *